Kresek Hitam

Hari ini aku membawakan sebuah kresek berwarna hitam. Seberusaha mungkin kresek ini tidak hanya berbunyi sreek…sreek.. tetapi ada semacam beban di dalamnya. Besek, tentengan, atau apapun itu, aku suka sekali mendengar bunyinya.

Suaranya seperti suara nostalgia. Mengantarkanku pada sebuah ingatan yang hampir hilang rasanya, tapi masih kulakukan kebiasaan ini (berarti secara tidak sadar, ini sudah menjadi tradisi ya?) Dan diiringi juga dengan suara pintu rumah yang terbuka -dibuka Papa, alias Papa pulang. Senyum sumringah seisi rumah kala itu. Kami pun menyambut dengan sungging nanggung, tebak tebak buah manggis. “apa ya isinya hari ini?”. Bahkan nggak sedikit juga, kami tertipu. Ternyata isinya Alat Tulis Kantor. Atau bahkan ikan mas hasil iseng iseng dia lewat Srengseng. Atau baju kemeja Papa yang dilepasnya di perjalanan karena keringat BSD-Depok dan ditaruhnya di kresek hitam itu.

Kebiasaanku tidak bisa hilang. Rasanya aneh dan kosong jika pulang tidak membawa apa apa. Sekedar buah mangga, atau beberapa potong kue jatahku atas ulang tahun rekan di kantor.. atau gorengan. Atau bahkan 3 potong bakpia dari bosku.. Aku ingin orang rumah ikut mencicipi sedikit rasanya.

Tapi tidak jarang juga vendor-vendor mengirimkan versi full nya. Brownies satu dus full. Pempek satu dus full. Cake satu kotak besar. Wah.. Walaupun, aku agak jarang membawa ke rumah versi full, karena pasti ada lirikan mata para predator pemburu makanan dari berbagai arah. Ya, itu. Sobat-sobat pencari cemilan. Jadi, biasanya aku akan membawa bagian besar, dan sisanya kita habiskan bersama. Ketika saat ini tiba, rasanya pulang seperti membawa harta karun! Aku adalah raja semalam. Hahaha.

Sepertinya ini menjadi hal yang dinanti sekarang. Setiap pulang, adikku yang paling kecil membukakan pintu sambil berkata, “kak icha bawa apa lagi hari ini?” Gak disangka, kalimat itu cukup berpengaruh ya, di hidupku. Rasanya seperti aku ingin membawakan yang lebih banyak lagi untuk keluargaku.

Hari ini pun, aku sudah siap dengan kresek di tangan. Kali ini isinya 2 bungkus sate ayam, ditambah nasi. Sebelum pulang, aku mampir beli sate ayam dulu. Nggak mahal kok. Dan kebetulan, aku ingat rumah. Jajanku hari ini pun belum melebihi budget harian. Jadi, kenapa tidak.

Pintu rumah kuketuk. Terdengar suara derap langkah mendekat. Adik-adikku membukakan pintu dan pandangan mereka menuju pada kresek ini. Aku pun menggoda mereka sedikit. Senyum licik ditambah alis naik dan agak sedikit jumawa, itu kulontarkan semua pada mereka. Mereka pun berlagak seperti rakyat jelata yang diberi janji upeti. “apa niih. Mau dong Kak.. Buka.. Buka!”, kata mereka. Aku hanya bisa bilang,”sate ayam”. Mulut mereka melebar berekspresi kaget. Kemudian kresek itu direbut, dan mereka berlomba menghidangkan makanan. Aku hanya tersenyum. Apa yang kubawa seperti berharga.

Kulihat Papa di depan TV menunggu sate itu dihidangkan. Tidak bergeming. Dia sudah pulang sejak sore tadi. Atau, mungkin memang di rumah? Aku tidak akan tau. Tapi kulihat dia memandang kresekku tadi. Tersenyum sedikit. Aku rasa, itu sudah lebih dari cukup. Lain kali, mungkin, jika aku diridhoi, aku akan membuatnya tersenyum lebih lebar. Sedikit lagi.